Jumat, 20 Februari 2009

Surga - Neraka : Kendali Jalan Kehidupan

"Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa." (QS. Al-Baqarah : 197)
Taqwa amat berharga dalam kehidupan seorang Mukmin, karena menjadi tolok ukur nilai dirinya di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hujurat : 13 yang artinya : "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa."

Begitu pula untuk mengarungi kehidupan akhirat, tidak ada bekal yang lebih baik selain taqwa, firman-Nya dal Surah Al-Baqarah : 197 yang artinya : "Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa."

Ketaqwaan juga menyebabkan semua urusan dimudahkan oleh Allah SWT dan dikaruniai rezeki yang tidak terduga. Firman Allah SWT dalam Surah Ath-Thalaq : 2-3 yang artinya : "Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya."

Pendek kata, taqwa adalah sesuatu yang paling mahal yang harus kita kejar, raih dan pertahankan dalam diri kita, jika ingin menjadi manusia yang paling mulia, baik di dunia maupun kelak setelah berpisahnya ruh dari jasad.

Hakikat Taqwa

Sebelum berbicara panjang lebar mengenai langkah-langkah meraih taqwa, berikut ini definisi taqwa, sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Mas'ud : "Engkau berbuat taat kepada Allah dengan cahaya (petunjuk) dari Allah dengan mengharap pahala Allah dan engkau tinggalkan maksiat kepada-Nya dengan cahaya dariNya karena takut akan siksaNya".

Dan pengertian tersebut, dapat kita pahami bahwa nilai taqwa seseorang amat berkait dengan kadar raja' (pengharapan) terhadap pahala Allah SWT (syurga) dan kadar khauf (takut) terhadap neraka Allah SWT. Selain itu, tentu yang paling awal adalah seberapa kadar ma'rifatullah (mengenal Allah SWT) yang ia miliki. Itulah tiga unsur dasar yang mendorong seseorang untuk bertaqwa kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin bisa menjadi Muttaqin (orang bertaqwa) sejati tanpa rasa takut kepada hari akhir, yang ujung-ujungnya adalah penentuan tempat tinggal, syurga atau neraka! Mari kita simak ayat berikut dalam Surah Al-Muzammil : 17 yang artinya : "Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban".

Syurga Dan Neraka, Pengaruhnya Terhadap Generasi Salafush Shaleh

Sebagaimana telah disinggung, rasa takut terhadap neraka dan rindu terhadap syurga adalah bagian iman yang sangat penting. Bagian ini pulalah yang menyebabkan seseorang mampu mengorbankan apa saja untuk Rabbnya dan rela meninggalkan hawa nafsunya agar terhindar dari neraka. Marilah kita simak kembali lembar kehidupan generasi terbaik ummat ini. Salaf Ash-Shaleh, yang telah berhasil meresapkan rasa takut terhadap neraka dan rindu terhadap syurga ke dalam sanubari mereka.

Shahabat yang mulia, Anas bin Malik r.a. mengisahkan bahwa dalam perang Badar, Rasulullah SAW bersabda : "Bangkitlah kalian menuju syurga yang luasnya seluas langit dan bumi." Seorang shahabat yang bernama Umair bin Hamam berkata, "Seluas langit dan bumi ya Rasulullah?" "Ya" jawab Rasul. Umair bergumam, "Bakh . . . bakh . . .". Rasulullah SAW bertanya : "Apa maksud perkataanmu itu?" Umair menjawab : "Demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada maksud dari perkataanku tadi kecuali aku mengharap untuk menjadi salah seorang penghuninya". Lalu Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya kamu termasuk salah seorang penghuninya". Umair kemudian mengeluarkan beberapa kurma dari kantongnya dan memakan sebagian. Kemudian ia berkata : "Jika saya harus memakan korma-korma ini semua, tentu merupakan kehidupan yang terlalu lama". Lalu ia lemparkan sisa kormanya, kemudian segera maju menyerang musuh sehingga ia terbunuh dan syahid . . .

Begitu juga Amru bin Jamuh. Lelaki ini diberi udzur untuk tidak ikut berperang karena kepincangannya. Namun cacat tersebut tidak menghalangi tekadnya untuk memasuki syurga dengan jalan jihad (perang) bertaruh nyawa. Ketika para putranya mencoba untuk menghalanginya agar tidak pergi berperang, justru ia mengadu kepada Rasulullah SAW tentang keinginannya masuk syurga dengan kakinya yang pincang. Akhirnya ia diijinkan ikut dalam perang Uhud. Ketika perang sedang berkecamuk, Rasulullah SAW bersabda, "Bersegeralah untuk bangkit menuju syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disiapkan bagi orang-orang yang bertaqwa". Maka Amru bin Jamuh segera bangkit dengan kakinya yang pincang seraya berkata, "Demi Allah, aku akan bersegera kepadanya". Kemudian ia berperang sampai terbunuh . . .

Sekarang marilah kita melihat gambaran lain dari generasi yang mulia ini tentang rasa takut mereka terhadap neraka. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan malam mereka penuh tangis dan harap agar terselamatkan dari neraka. Mereka adalah sejauh-jauh manusia yang meninggalkan larangan Allah SWT.

Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. mempunyai seorang budak. Suatu malam, budak tersebut datang kepadanya dengan membawa makanan. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. sedang memakannya satu suapan, budak tadi berkata : "Mengapa engkau tidak menanyakan tentang (asal-usul) makanan ini, padahal biasanya engkau selalu menanyakannya?", Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. menjawab, "Karena saya sangat lapar. Dari mana kau dapatkan makanan ini?" budak itu menjawab, "Suatu saat pada masa jahiliyyah, aku melewati suatu kaum kemudian meruqyah (menjampi) mereka dan mereka menjanjikan (akan memberi sesuatu) kepadaku. Tatkala lain waktu saya singgah ke tempat tersebut, saya diberi hadiah". Berkata Ash-Shiddiq, "Celakalah kau . . . hampir saja kamu mencelakakanku". ia meminta semangkuk air dan meminumnya sampai ia bisa memuntahkan makanan tadi. Orang yang melihat hal itu berkata, "Semoga Allah merahmatimu. Hanya karan sesuap makanan itukah kau lakukan semua ini?" Beliau menjawa, "Seandainya ia tidak bisa keluar kecuali bersama jiwaku pasti aku akan mengeluarkannya. Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Setiap jasad yang tumbuh dari hart yang haram, maka neraka adalah lebih pantas baginya'. Maka aku takut jika tubuhku ini tumbuh dari sesuap makanan tersebut".

Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. (tabi'in/generasi setelah shahabat) suatu ketika menangis, sehingga isterinya ikut menangis. Karena tangisan mereka berdua, para tetangganya pun ikut menangis. setelah tangis reda, isterinya, Fatimah bertanya kepadanya, "Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuatmu menangis?'. Ia menjawab, "Saya membayangkan keadaan manusia nanti di hadapan Allah SWT. Sebagian masuk syurga dan lainnya masuk neraka". Kemudian ia menjerit dan pingsan . . .

Abdullah bin Mubarak (ahli hadits sekaligus seorang mujahid), suatu malam pelita yang meneranginya padam. Setelah dihidupkan kembali, ternyata jenggotnya sudah basah dengan air mata karena membayangkan kegelapan hari akhir nanti . . .

Demikian juga Abu Faruq, pingsan setelah mendengar satu ayat Al-Qur'an.

Kondisi jiwa seperti inilah yang membuat mereka menjadi manusia yang paling zuhud dan wara' (selektif/hati-hati) terhadap dunia dan takut berbuat dosa, walau sekecil apapun.

"Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa." (QS. Al-Baqarah : 197)


Kondisi Generasi Kiwari

Waktu bergulir tak kenal henti. Generasi pun datang silih berganti. Tanpa terasa empat belas abad sudah, generasi terbaik meninggalkan kita. Kini tinggallah sosok-sosok generasi abad sekarang, yang kalau kita perhatikn, baik di kantor, sekolah, pasar atau bahkan di masjid, adakah wajah-wajah yang penuh rasa takut, berbicara tentang akhirat? Adakah tangisan pilu karena membayangkan adzab neraka dapat kita jumpai dari para qari', khatib, imam masjid atau ulama kita? Yang nampak sekarang ini justru manusia-manusia yang rakus terhadap dunia. Seluruh waktunya dikerahkan untuk meraup dunia ini, tidak peduli halal atau haram. Bayangan syurga dan neraka sudah terkisis dari diri mereka. Apalagi memang kondisi saat ini amat mendukung bagi terbentuknya pribadi hubbud dunya (cinta dunia) dan lupa akhirat.

Kenyataan itu ada di mana-mana. Di swalayan, musik (yang sebagian ulama' mengharamkannya) berbaur dengan pajangan perangsang nafsu syaithani. Di rumah, televisi ---yang sebagian besar acaranya mendakwahkan materialisme dan konsumerisme--- menjadi santapan bebas keseharian keluarga kita. Kalau sudah begini, bagaimana hati ini akan mampu mengingat akhirat. Kalau setiap detik hati selalu dijejali dengan kemaksiatan, sendau gurau dan permainan, mana mungkin ia dapat mengalirkan derai air mata, sebagai penyimbah api neraka? Ia akan menjadi gelap dan tidak paham terhadap hakekat kehidupan.

Ingatlah firman Allah SWT dalam Surah Al-Muthoffifiin ayat 14 yang artinya : "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." Berkenaan dengan ayat ini, Ibnu Jarir, Nasa'i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi SAW bersabda : "Apabila seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka akan ada titik hitam di hatinya. Jika ia bertobat darinya, hatinya akan jernih kembali. Apabila dosanya bertambah, bertambah pula bintik hitam. Itulah maksud ayat 'Kalla bal raana a'la quluubihim maa kaanu ya'maluun' (Al-Muthaffifiin : 4)." (hadits hasan shahih menurut Tirmidzi).

Hitamnya hati disebabkan dosa. Dosa pulalah yang menjadikan hati kita keras hingga enggan untuk berdzikir, mengingat akhirat.

Merangsang Hati Mengingat Syurga Dan Neraka

Berikut kiat yang diharapkan mampu menjadikan hati lunak, sehingga mudah untuk mengingat akhirat (nikmat syurga atau adzab neraka).

Pertama, Tinggalkan maksiat
Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits tadi, bahwa banyaknya kemaksiatan yang kita lakukan akan menjadikan hati gelap dan keras, lebih keras dari batu, sehingga enggan untuk mengingat akhirat.

Imam Malik r.a. pernah menasehati muridnya, Imam Syafi'i r.a., "Wahai anak muda sesungguhnya saya melihat bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu. Maka, janganlah kau padamkan api itu dengan kegelapan maksiat."

Kedua, Tadabbur (menghayati Al-Qur'an)
Banyak sekali ayat dalam Al-Qur'an yang menceritakan tentang syurga dan neraka. Apabila kita berhasil menghayati ayat tersebut, tentu akan timbul rasa rindu terhadap syurga dan takut terhadap neraka.

Ibrahim bin Basyar r.a. berkata bahwa ketika membaca ayat (artinya): "...andaikan engkau tahu, ketika mereka diberdirikan di mulut neraka, mereka berkata, 'duhai andaikan aku dikembalikan (hidup) langu' Ali bin Fudhail r.a. tersungkur dan meninggal. Saya adalah salah seorang yang menyolati jenazahnya".

Riwayat lain menyebutkan, Umar bin Al-Khattab r.a. sakit ketika mendengar firman Allah SWT yang artinya : "Sesungguhnya siksa Rabbmu pasti terjadi. Tidak ada yang menghalanginya."

Berusahalah dengan sungguh untuk mentadabburi Al-Qur'an, sehingga hati kita 'hidup'. Bila perlu, ulangilah beberapa kali ayat tentang nikmat dan adzab yang sedang kita baca, agar dapat meninggalkan bekas di hati.

Ketiga, Membayangkan syurga dan neraka dalam keseharian kita.
Apabila melihat api, ingatlah bahwa neraka 70 kali lebih dahsyat panasnya dari api dunia. Apabila melewati sungai jernih yang mengalir, ingatlah kejernihan sungai di syurga. Termasuk juga apa yang dicontohkan oleh Abdullah bin Mubara di atas. Tetapi, kita mesti sadar bahwa segala yang terjadi di akhirat nanti tidaklah seperti apa yang kita bayangkan. Baik nikmat maupun kita bayangkan. Begitu pula, semua ini harus kita lakukan dalam batas yang diperbolehkan syari'at. Tidak dibenarkan, melihat lawan jenis yang bukan mahram, dengan alasan membayangkan salah satu kenikmatan di syurga.

Apabila kondisi seperti ini berhasil kita wujudkan, insya Allah derajat kita akan naik bersama orang-orang yang bertaqwa, berkumpul bersma orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Amien . . . .

Selengkapnya...

Ulama Su', Petaka Dan Fitnah

"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir." (QS. Al-Baqarah : 44)

Rasulullah SAW bersabda :
"Akan muncul di akhir zaman orang-orang yang mencari dunia dengan agama. Di hadapan manusia mereka memakai baju dari bulu domba untuk memberi kesan kerendahan hati mereka, lisan mereka lebih manis dari gula namun hati mereka adalah hati serigala (sangat menyukai harta dan kedudukan). Allah SWT berfirman : 'Apakah dengan-Ku (kasih dan kesempatan yang kuberikan) kalian tertipu ataukah kalian berani kepada-Ku. Demi diriku, Aku bersumpah, Aku akan mengirim bencana dari antara mereka sendiri yang menjadikan orang-orang santun menjadi kebingungan (apalagi selain mereka) sehingga mereka tidak mampu melepaskan diri darinya." (HR. Tirmidzi).

Namanya saja ulama su' (buruk), tentu pekerjaannya merusak, mangacau, dan menyesatkan. Disebut ulama karena baju dan lisannya seperti ulama, disebut su' karena perbuatan, ajakan, dan hatinya jahat. Karena itu, ulama su' termasuk jenis manusia yang berbulu domba namun berhati serigala.

Ulama su' sekarang ini adalah generasi penerus dari ulama su' zaman dahulu. Ulama su' mengajarkan tipu daya untuk mencari celah-celah hukum Allah, sehingga mereka bisa memakan harta secara batil seperti kisah orang-orang Bani Israil yang diharamkan mencari ikan pada hari Sabtu, namun mereka halalkan dengan tipu darya yang culup terkenal itu, atau menghalalkan bangkai dengan cara menccirkannya menjadi minyak lalu dijual dan dimakan harganya.

Ulama su' adalah peringkat ulama yang paling rendah, paling buruk dan paling merugi. Ia adalah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya dan tidak mengajarkannya kepada manusia. Di samping itu, ia mengajak kepada kejahatan dan kesesatan. Ia menyuguhkan keburukan dalam bentuk kebaikan. Ia menggambarkan kebatilan dengan gambar sebuah kebenaran. Ada katlanya, karena menjilat para penguasa dan orang-orang dzalim lainnya untuk mendapatkan kedudukan, pangkat, pengaruh, pernghargaan atau apa saja dari perhiasan dunia yang ada di tangan mereka. Atau ada juga ang melakukan itu karena sengaja menentang Allah dan Rasul-Nya demi menciptakan kerusakan di muka buni ini. Mereka tidak lain adalah para khalifah syetan dan para wakil Dajjal.

Diantara ulama su' ada juga kelompok yang mengajak kepada kebaikan, namun tidak pernah memberikan keteladanan. Karena itu, ibnul Qayyim berkata : "Ulama su' duduk di depan pintu surga dan mengajak manusia untuk masuk ke dalamnya dengan ucapan dan seruan-seruan mereka. Dan mengajak manusia untuk masuk ke dalam neraka dengan perbuatan dan tindakannya. Ucapan mereka berkata kepada manusia : 'Kemarilah! Kemarilah!' Sedangkan perbuatan mereka berkata : Janganlah engkau dengarkan seruan mereka. Seandainya seruan mereka itu benar, tentu mereka adalah orang yang pertama kali memenuhi seruan itu." (Al-Fawaid, Ibnul Qayyim, hal. 61).

Diriwayatkan bahwa Allah SWT memberi wahyu kepada Nabi Dawud AS : "Wahai Dawud jangan engkau jadikan antara Aku dan antara dirimu seorang alim yang sudah tergoda oleh dunia, sehingga ia bisa menghalangimu dari jalan mahabbahku. Karena sesungguhnya mereka adalah para begal yang membegal jalannya hamba-hambaKu. Sesungguhnya hukuman terkecil yang Aku kenakan untuk mereka adalah Aku cabut kelezatan bermunajat dari hati mereka." (Jami' Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Bar, I/193).

Asy-Sya'bi berkata : "Akan ada sekelompok penduduk surga yang melongok, melihat sekelompok penduduk neraka. Lalu penduduk surga menyapa mereka dengan penuh keheranan, 'Apa yang membuat kalian masuk neraka, padahal kami masuk surga karena jasa didikan dan ajaranmu?' Mereka menjawab : Sesungguhnya kami memerintahkan kalian melakukan kebaikan namun kami sendiri melakukannya."

Allah SWT telah mencela orang-orang semacam ini sejak zaman Nabi Musa AS dan mengabadikan hinaan itu di dalam kitab suci sepanjang masa, seperti dalam QS. Al-Baqarah : 44, yang artinya :"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (Mukhtashar jami' Bayanul Ilmi, Ahmad bin Umar Al-Bairuti, hal. 163).

Contoh Nyata

Contohnya banyak sekali, seperti ulama yang dalam muktamar telah memutuskan keharaman musik, lalu setelah pulang ke pesantrennya ternyata di rumahnya terang-terangan memutas kaset-kaset nyanyian atau bahkan santrinya direstui membentuk group musik atau qasidah. Ada lagi ulama-ulama yang ikut dalam tim pengharaman rokok, padahal dia sendiri adalah perokok. Ada juga ulama yang dengan manisnya mengatakan bahwa tugasnya adalah berdakwah demi kesejahteraan Islam, namun di waktu lain ia malah membolehkan bahkan mengajak untuk memilih orang-orang kafir sebagai pemimpin, dan lain sebagainya.

Satu lagi termasuk kelompok ulama su' yaitu ulama yang mengajak kepada kebaikan, tetapi dengan cara-cara kefasikan, seperti berdakwah dengan musik dan gendingan. Mulutnya mengajak ke surga sementara tangan dan kakinya mengajak orang lain untuk bergoyang mengikuti syetan. Atau berdakwah dengan menggunakan metode lawak, sehingga ungkapan yang kotor dan contoh-contoh yang seronok menjadi bumbu wajib dalam setiap ceramahnya karena target keberhasilannya adalah puasnya hadirin, pemirsa dan pendengar, dengan gelak tawa dan senyuman lebar sebanyak mungkin. Tema dan isi dakwah pun dipilih dan dikemas sesuai dengan selera para panitia dan pengunjung. Mulutnya mengajak kepada iman, namun lawakan dan kebanyolannya melupakan akhirat. Intinya adalah ia mencari "ridah manusia." Jenis ulama penghibur (pelawak dan pemusik) ini tidak mengikuti aturan dakwah dalam syariat Islam, tetapi mengikuti nafsu syetan demi mengejar ridha manusia. Mereka lupa akan ancaman Rasulullah SAW :

"Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan (resiko mendapat) murka manusia, maka Allah mencukupinya dari manusia. Dan barangsiapa mencari ridha manusia dengan (menyebabkan) kemurkaan Allah, maka Allah menyerahkan dirinya kepada manusia." (HR. Tirmidzi, no. 2419).

Alhasil ulama su' adalah perusak agama, pemadam sunnah, pelindung bid'ah, pelopor maksiat. Sesungguhnya tepat ungkapan ibnul Mubarak : "Tidaklah merusak agama ini melainkan para raja, ulama su', dan para rahibnya."

Hal ini karena manusia ini bergantung kepada ulama (ahli ilmu dan amal), ubbad (ahli ibadah) dan muluk (umara, aghniya'). Jika mereka baik, manusia akan baik dan juka mereka rusak, pasti dunia menjadi rusak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/462).

Umar berkata kepada Ziyad bin Hudair : "Apakah kamu mengerti apa yang merusak Islam?" Ziyad berkata : "Tidak." Umar berkata : "Tergelincirnya seorang alim, debatnya orang munafik -dengan ayat Al-Qur'an- dan (penetapan) hukumnya para imam yang menyesatkan." (Riwayat Ad-Darimi).

Ulama su' sejatinya adalah da'i-da'i neraka. Dalam hadits Hudzaifah ra, ketika dia bertanya kepada Rasulullah SAW : "Sesungguhnya kita dulu ada dalam kejahiliyahan lalu Allah menganugerahkan kepada kami kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?" Beliau menjawab dalam ucapannya yang panjang sampai berkata : "ya, para da'i di ambang pintu Jahannam. Siapa yang mendatangi ajakannya pasti akan mereka lemparkan ke dalamnya." (HR. Al-Bukhari, 7084, dan lain-lain).

Ulama su' menjadi musuh Allah, mereka sebegitu buruknya karena memutar balikkan urusan, maka benar-benar terbalik. Mestinya salah seorang mereka bisa menjadi pengajak dan penyeru kepada jalan Allah, ternyata mereka sesat dan menyesatkan, mengajak kepada jalan syetan. (Dari ucapan Ali ra, Ad-Dakwatul Tammah, Abdullah Al-Hadrami. hal. 42).

Ulama su' adalah ulama fasik yang akan dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka sebelum para penyembah berhala, karena salahnya orang yang mengerti tidak sama dengan orang yang tidak mengerti. (Mukhtashar Jami' Bayanil Ilmi, 164).

Ya Allah, jadikanlah manfaat untuk kami apa yang telah engkau ajarkan kepada kami dan ajarkanlah terus kepada kami apa yang bermanfaat untuk kami. (Abu Hamzah As-Sanuwi).
Selengkapnya...

Mari Bentengi Diri Dari Penyimpangan Pemikiran

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu." (QS. An-Nisa' : 105)
Di dalam sebuat hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tarmidzi disebutkan bahwa sahabat Hudzaifah ibnu Al-Yamani pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : "Wahai Rasulullah, apakah sesudah kebaikan ini akan ada masa keburukan? Jawab Rasulullah: 'Ya..., yaitu munculnya kaum yang mengajak orang lain ke neraka jahannam. Barangsiapa memenuhi ajakannya berarti telah menyiapkan dirinya untuk masuk neraka'. Aku berkata: Terangkanlah ciri-ciri mereka itu, wahai Rasulullah. Jawab Rasulullah: 'Kulit mereka sama dengan kulit kita dan mereka bicara dengan bahasa kita."

Kutipan potongan sebuah hadits itu dijadikan landasan oleh Prof. Ahmad Muhammad Jamal (almarhum) guru besar kebudayaan Islam pada Universitas Ummul Qura Makkah, dalam pendahuluan kitabnya yang berjudul Muftaroyaat 'alal Islam (Kebohongan-kebohongan) terhadap Islam) yang di Indonesiakan menjadi Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam.

Beliau mengemukakan hadits tersebut, karena menyesalkan sekali adanya orang-orang yang bersikap kebarat-baratan justru dari kalangan kita sendiri, warna kulitnya sejenis dengan kita, bahasanya sama dengan kita, bahkan semboyannya pun seperti semboyan kita. Namun mereka membelakangi sumber-sumber ajaran Islam berupa Al-Qur'an, Hadits, dan Sejarah Islam. Sebaliknya mereka hadapkan wajah dan hati mereka kepada sumber-sumber Barat. Kemudian mereka menuduh dan membohongkan Islam seperti yang diperbuat orang Barat.

Menurut Syeikh Ahmad Jamal, pengaruh itu masuk ke orang Islam lantaran salah satu dari 3 hal:

Karena mereka belajar di perguruan tinggi Barat, Eropa, atau Amerika.
Karena mereka belajar di bawah asuhan orang-orang Barat di perguruan tinggi di dalam negeri mereka sendiri, atau
Karena mereka hanya membaca sumber-sumber dari Barat di luar tempat-tempat pendidikan formal dengan mengenyampingkan sumber-sumber Islam.
Kalau sudah demikian, tanggung jawab siapa?

Kembali Syeikh Ahmad Jamal mengulasnya, bahwa itu adalah tanggung jawab kita -ummat Islam- juga. Kenapa? Karena kitalah yang mengirim mereka ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Barat dengan aneka alasan. Pengiriman mahasiswa itu tanpa membekali antisipasi untuk mencegah keraguan-raguan yang ditanamkan guru-guru Barat, dan kita tidak menyediakan untuk mahasiswa itu citra dan syiar Islam serta bentuk rumah tangga dan negara yang benar-benar Islami. Hingga kita tidak bisa meluruskan mereka ketika bengkok.

"Ya, kita mengirim mereka ke perguruan-perguruan Barat, namun kita tidak membangun rumah Islam buat mereka yang dapat melindungi mereka dari panah dan hembusan beracun orang-orang Barat." Tulis Ahmad Muhammad Jamal.

Dengan tandas, Ustadz itu mengemukakan bahwa di samping bahaya tersebut, masih pula kita mendatangkan tenaga-tenaga pengajar dari Barat untuk memberikan pelajaran di perguruan-perguruan dan universitas-universitas kita. Dapat dipastikan, tenaga-tenaga Barat itu menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka sebagaimana yang dilakukan rekan-rekan mereka di negara Barat, yaitu meracuni dan menimbulkan rasa antipati terhadap Islam.

Faktor-faktor itu masih pula ditambah dngan kesalahan kita yaitu membuka pintu lebar-lebar untuk penyebaran kebudayaan Barat, sehingga orang kita begitu saja membenarkan apa-apa yang datang dari Barat dan menerimanya bulat-bulat.

Akibat dari itu semua, Ustadz Ahmad Muhammad Jamal (68 th) yang wafat di Kairo, Mesir pada hari Arafah 1413 H itu mengemukakan peringatan yang cukup tegas:
"Dengan terjadinya hal-hal semacam itu maka juru da'wah Islam hanya dapat berteriak di lembah sunyi dan di padang yang lengang, bahkan mereka hanya dapat membacakan do'a kepada ahli kubur. Hanya sedikit pemuda Muslim yang diselamatkan oleh Allah. Yang sedikit inipun selalu dihalang-halangi kelompok jahat yang mayoritas itu dengan berbagai jalan. Setiap orang beriman ditekan, diintimidasi dan dirintangi dari menjalankan agama Allah"

Menghancurkan Hukum Islam Dan Sistem Islam.

Upaya Barat untuk menghancurkan Islam adalah selama 6 abad orang Barat belajar kepada kaum Muslimin, mula-mula yang dihancurkan adalah Hukum Islam. Hukum atau Syari'at Islam telah berlangsung dan diterapkan sejak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sampai berkembangnya Islam ke berbagai negara di zaman kekhalifahan ataupun kesultanan.

Pada masa pemekaran Islam ke berbagai negara pada abad ketujuh, delapan, dan kesembilan Masehi, Hukum Positif Romawi mulai jatuh dan dilupakan orang, sejak munculnya Justinius pada abad keenam Masehi, Hukum Positif itu tidak bisa diberlakukan lagi berabad-abad, kecuali pada abad ke sebelas oleh seorang murid yang sempat belajar hukum Islam di Andalus, yaitu Paus Jerbart seorang Prancis yang dikenal dengan nama Silvestre II (1024 M). Ia menjadi murid orang-orang Islam Andalusia abad 11, kemudian kembali ke Prancis dan mengkaji hukum positif Romawi dengan memasukkan unsur-unsur syari'at Islam yang telah ia terima. Tetapi Paus Silvestre dan lainnya tidak berani mempublikasikan ajaran yang membawa pengaruh syari'at Islam itu di depan Gereja. Kemudian hukum positif Romawi yang dibawa oleh Paus dapat diterima oleh Gereja sebagai perkembangan hukum yang terselubung. (Dr. Abdul Halim Uwies, Al-Islamu kamaa yanbaghi an nu'mina bih, diindonesiakan menjadi Koreksi terhadap Ummat Islam, Darul Ulum Press, Jakarta, cet. pertama, 1989, hal. 82).

Pada priode berikutnya, hukum Islam yang telah diberlakukan di berabagai negeri itu kemudian dipreteli (dilepas) diganti dengan hukum positif. Di saat hampir saja Inggris menduduki India (plus Pakistan dan Bangladesh) tahun 1791, Inggris sudah mengadakan gerakan untuk membatalkan syari'at Islam, kemudian orang Islam di sana mulai didesak untuk menginggalkan ajarannya dan menjalankan hukum mereka. Terjepitlah syari'at Islam pada saat itu, dan peristiwa inilah sebagi awal kemerosotan dunia Islam secara umum.

Di belahan lain di Mesir, berlangsung pula revolusi Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte hingga tahun 1798. Tiga tahun setelahnya (1801 M) mereka keluar dari Mesir setelah di belakang mereka telah disiapkan adanya sejumlah pendukung, percetakan-percetakan dan pemuka-pemukanya termasuk para pemikirnya yang nantinya siap untuk menghembuskan pergolakan pemikiran yang "cemerlang", seperti Muhammad Ali Basya yang menjadi agen Prancis dan mendapat dukungan dari semua warganya kecuali Raja Fuad (Rahimahullah) hingga akhirnya Mesir menjadi negara bagian dari Eropa.

Gerakan mereka tidak lain hanyalah perlawanan terhadap kaum Muslimin di Jazirah Arab dan sebagai barisan oposisi gerakan pembaharuan Wahabi.

Adapun dngan Inggris dan Prancis mereka adalah agen-agennya, baik secar moral maupun intelektual. Di kalangan warga negaranya, Muhammad Ali Basya mewajibkan mereka untukmelaksanakan hukum Prancis pada tahun 1883, di Mesir. Dan ia mendirikan Mahkamah Nasional sesuai dengan hukum Prancis. Tetapi setelah ia merasakan bahwa hukum itu barang efektif dicabutlah dan diganti dengan hukum Belgia pada tahun 1887, dan setelah ia merasakan bahwa hal itu juga kurang efektif dicabutnya lagi dan diganti dengan hukum Itali pada tahun 1889, begitu seterusnya hingga dibentuk hukum positif Inggris yang berlaku untuk orang-orang Muslim India dan Sudan. Dan itulah yang menjadi hukum permanen di Mesir sebagaimana juga di empat bagian negara Eropa lainnya. Akan tetapi setelah Britania (Inggris) mulai melemah di Mesir, ditetapkan hukum Eropa di setiap lembaga pemerintahan di sana. (Ibid, hal. 83-84).

kemudian pengaruh-pengaruh Barat menyeruak ke seluruh daerah-daerah besar lainnya sampai di Turki Utsmani.

Bangkitlah Kemal Ataturk pada tahun 1924 M dan meruntuhkan kekhalifahan dan ia mengeluarkan meomentum untuk menghapus Islam dengan segala bentuknya dan menegaskan agar seluruh manusia dapat meninggalkan aqidah dan syari'ah Islam.

Di sin pemikiran lain, muncul dari kelompok mereka, Syeikh Ali Abdul Razik (Mesir), ia termasuk barisan partai Hizbul Ahrar Ad-Dusturiin dan pernah meninggalkan Hizbul Ummah (partai Inggris), ia mempromosikan bukunya Al-Islam wa Ushulul Hukmi. (ibid, hal 84).

Penyelewengan pemikiran dalam buku Ali Abdul Raziq di antaranya:

Bahwa Syeikh Ali telah menjadikan syari'at Islam sebagai syari'at rohani semata-mata, tidak ada hukumnya dengan pemerintah dan pelaksanaan hukum dalam urusan duniawi.

Berkenaan dengan anggapannya bahwa agama tidak melarang perang jihad Nabi SAW, demi mendapatkan kerajaan bukan dalam rangka fi sabilillah, dan bukan untuk menyampaikan da'wah kepada seluruh alam. Dia menulis :

"...dan jelaslah sejak pertama bahwa jihad itu tidak semata-mata untuk da'wah agama dan tidak untuk menganjurkan orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya..."

Bahwa tatanan hukum di zaman Nabi SAW tidak jelaas, meragukan, tidak stabil, tidak sempurna dan menimbulkan berbagai tanda tanya. Katanya:

"Sebenarnya kewalian Muhammad SAW atas segenap kaum mu'minin itu ialah wilayah risalah, tidak bercampur sedikitpun dengan hukum permerintahan."

Menurut sidang para ulama Al-Azhar yang menghakimi Syeikh Ali Abdul Raziq, cara yang ditempuh Syeikh Ali itu berbahaya, karena ia ingin melucuti Nabi SAW dari hukum pemerintahan...Sudah tentu anggapan Syeikh Ali itu bertentangan dengan bunyi tegas Al-Qur'anul Kariim Surah An-Nisa' : 105 yang menyatakan yang artinya : "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu."

Berkenaan dengan anggapannya bahwa tugas Nabi hanya menyampaikan syari'at lepas dari hukum pemerintahan hukum dan pelaksanaannya.

Kalau anggapan itu benar tentunya ia merupakan penolakan terhadap semua ayat-ayat tentang pemerintahan hukum yang banyak terdapat di Al-Qur'an.. Dan bertentangan juga dengan Sunnah Rasul SAW yang jelas dengan tegas...

Masih banyak lagi penyimpangan pemikiran Ali Abdul Raziq, hingga ia diputuskan oleh forum alim ulama Al-Azhar dengan memecatnya dan mengeluarkan dari barisan ulama Al-Azhar. Keputusan pemecatan itu dikeluarkan dalam persidangan terhadap Syeikh Ali Abdul Raziq yang dipimpin Abul Fadhal Al-Jizawi dengan anggota 24 ulama Al-Azhar tanggal 22 Muharam 1344 H/12 Agustus 1925. (Dari Al-Milal wan Nihal oleh Asy-Syahrastani, dikutip Fathi Yakan, Islam di tengah persekongkolan musuh abad 20, GIP cet. 6, 1993, hal. 113, lihat H. Hartono A. Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, 1994, hal. 83-84).

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu." (QS. An-Nisa' : 105)

Ummat Kebingungan

Sejak terjadinya pemisahan antara penguasa dengan sumber-sumber hukum Islam di kalangan ummat Islam, di mana manusia merasa kebingungan karena diombang-ambingkan oleh hawa nafsunya, para ulam pun sudah tak mau peduli. Masing-masing sudah sibuk dengan urusannya sendiri dan mereka pandang itulah yang lebih aman dan selamat.

Ketika terjadi kebangkitan Eropa baru, kondisi ummat sama sekali sudah tidak memiliki unsur-unsur kekuatan yang hakiki. Sebut saja aqidahnya lemah dan tidak jelas lagi arahnya. Keyakinannya tidak mantap, akhlaknya merosot, komitmennya hampir tak ada sama sekali. Pemikirannya jumud (beku), ijtihadnya macet total, kefaqihannya (kefahamannya terhadap Islam) hilang, bid'ah merajalela, sunnah sudah diabaikan, kesadarannya menipis, sampai-sampai yang namanya ummat tidak seperti ummat lagi. Maka orang Barat mengeksploitasi kesempatan tersebut dengan menjajah dan menguasai berbagai negeri dan menghabisi sisa-sisa unsur kekuatan pribadi ummat sampai keadaannya seperti apa yang kita rasakan sekarang. Penuh kehinaan tanpa memiliki wibawa sama sekali. Segala urusan kita berada di tangan musuh dan nasib kita ditentukan oleh mereka para penjajah itu. Akhirnya kita minta bantuan kepada mereka untuk menyelesaikan segala problem yang timbulnya dari pribadi kita sendiri. (Dr. Thoha Jabir Fayyadh Al-Ulwani, Adabul Ikhtilaf fil Islam / Beda pendapat bagaimana menurut Islam, GIP, 1991, hal. 135).

Para penjajah benar-benar memahami karakteristik ummat yang dijajahnya (yang keadaannya telah carut marut itu). Mereka memfokuskan perhatian pada pembentukan program pengajaran dan lembaga-lembaganya, dengan harapan dapat mengubah pemikiran-pemikiran kaum Muslimin sehingga siap untuk menerima pemikiran-pemikiran alam baru dan berusaha menyelaraskannya.

Para penjajah kafir tersebut beranggapan bahwa penerimaan kaum Muslimin terhadap realitas yang baru dapat mendorong mereka untuk mencapai kemauan.

Hal itu mereka analogikan pada negara-negara Eropa yang tidak merencanakan programnya yang benar-benar mantap untuk mencapai suatu peradaban kecuali setelah melepaskan agamanya dan bebas dari belenggu gereja. Menurut mereka, semua agama hanya merupakan lembaga serta penghalang untuk mencapai tujuan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surah Al-Kahfi : 5 yang artinya:
"Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta."

Tuduhan-tuduhan mereka itu memang benar untuk agama mereka, namun sangat jauh untuk dikatakan benar-benar terhadap dien Al-Islam. Karena, dengan Islam itu Allah menghendaki agar manusia hidup bahagia dan terwujud segala keinginannya. (ibid, hal. 139).

Penjajah menekan sistem pengajaran Islam

Dalam rangka usaha untuk memisahkan ummat dari eksistensi dan kehidupannya yang Islami, para penjajah kafir melakukan tekanan-tekanan dan hambatan terhadap sistem pengajaran Islam. Mereka juga menghembuskan pemikiran-pemikiran yang dapat merendahkan kedudukan dan menghina pelajaran-pelajaran Islam.

Sebagai kebalikannya, mereka memperhatikan dan membantu murid-murid yang memasuki sekolah-sekolah baru tempat pendidikan mereka (penjajah). Di hadapan mereka dihadapkan pintu masa depan yang gilang-gemilang dan akhirnya posisi kepemimpinan ummat menjadi tergantung kepada mereka (yang diasuh penjajah itu, pen.)

Begitulah tekanan-tekanan yang dilancarkan terhadap sistem pendidikan Islam dan bahasa Arab. Semua jalan yang menuju ke sana tertutup rapat. Murid-murid yang tetap tekun hanyalah sebagian kecil saja. Biasanya mereka banyak mengahadapi tekanan-tekanan yang seringkali mengakibatkan mereka berhenti dan macet di tengah jalan. Kalau tidak, maka mereka dihadapkan pada perlakuan yang berbeda, dengan para lulusan sekolah mereka (penjajah) (ibid, 140).

Sistem itu masih dilanjutkan pula oleh pemerintahan baru setelah lepas dari jajahan. Walaupun para pemegang tampuk pemerintahan mengaku dirinya Muslim, namun cara-cara penjajah tetap diterapkan bahkan lebih intensif. Baik itu mengenai sistem hukum / peradilan dan pemerintahan, maupun sistem pendidikan dan penerimaan pegawai. Istilah lokal Jawa, Londo Ireng (Belanda Hitam alias pribumi, namun kejamnya dan liciknya dalam penerapan kekafiran lebih Belanda / lebih menjajah dibanding Belanda penjajah).

Akibatnya, di samping yang mendapatkan kesempatan memimpin itu orang-orang yang tidak tahu Islam karena pendidikannya ala kafirin, masih pula sikap mereka pun sudah menjadi orang yang sekuler tulen, dalam bentuk keturunan orang Islam. Pola pikirnya sekuler, gaya hidupnya sekuler, pergaulan hidupnya sekuler, penerapan hukum dan pembelaannya ke arah sekuler.

Membentengi ummat dari penyimpangan pemikiran ?

Tiba gilirannya untuk menjawab judul makalah ini, bagaimana membentengi ummat dari penyimpangan pemikiran.

Ibarat satu kampung, keadaannya sudah ditenggelamkan dalam air. Penenggelaman ini dari segi sistem hukum, sistem pendidikan, dan kebijakan-kebijakan yang menyingkirkan Islam. Maka yang masih tersisa tinggallah yang diselamatkan oleh Allah SWT.

Setelah tenggelam dalam pola pikir yang sekuler, yang tak Islami, lalu harus dibentengi bagaimana?

Secara teori, kita harus menyingkirkan segala pemikiran yang tak sesuai dengan Islam. Ibarat air yang telah menggenangi, maka harus ditawa, dipompa untuk dibuang, dan dikuras. Jadi pola pikir sekuler itu harus dikikis, bahkan diperangi agar terkikis habis. Setelah itu diisi dengan pola yang Islami.
Caranya ?
Secara teori, sistem hukum dan sistem pendidikan harus dikembalikan ke Islam.
Caranya ?
Para pemegang kekuasaan bidang hukum dan pendidikan terdiri dari orang-orang yang berpola pikir Islami. Tetapi itu hanya bisa ditempuh bila pemegang kendali kekuasaan adalah orang-orang yang berpola pikir Islami.

Untuk mencapai itu, mesti diadakan pendidikan yang intensif, yang secara herarkis mencapai tingkatan sampai tinggi dan tetap punya komitmen yang tinggi terhadap pola pemikiran yang Islami.

Bukankah nantinya tetap kalah dalam bersaing, karena sistemnya tidak memungkinkah untuk merebut pasar kedudukan?

Di balik upaya manusia, dalam menegakkan kebenaran ini ada dukungan Allah SWT. "Apabila kalian menolong (agama) Allah maka pasti Allah menolong kalian." Itu jaminan Allah SWT.

Dibalik itu pula, Nabi SAW bersabda yang artinya : "Tali-tali Islam pasi akan putus satu tali demi satu tali. Maka setiapkali putus satu tali (lalu) manusia bergantung dengan tali yang berikutnya. Dan tali Islam yang pertama kali putus adalah hukum (nya), sedang yang terakhir (putus) adalah shalat." (HR. Ahmad dari Abi Umamah).

Tali-tali hukum Islam ternyata telah diputus-putus oleh penjajah dan dilanjutkan oleh pemerintah penggati penjajah. Demikian pula tali-tali sistem pendidikan. Bahkan sistem budaya pula. Kini hal yang jelas belum diputus adalah shalat, maka kita kembalikan apa yang putus-putus itu dengan membangun kembali shalat kita dengan berjamaah ke masjid-masjid dan meningkatkan kekhusyu'an. Dari situ, akan terbina insan-insan Muslim yang tangguh yang mampu mengendalikan dirinya dari fahsya' dan munkar. Karena Allah SWT berfirman dalam Surah yang Al-Ankabut : 45 artinya :"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar."

Dengan tumbuhnya sosok-sosok pribadi muslimin yang mampu mengendalikan diri dari fahsya' dan munkar itu maka akan memiliki bashirah yang tajam, yang mampu membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Hanya saja semua itu harus dilandasi ilmu Islam yang memadai, sehingga bashirah yang tajam itu akan dibentengi oleh hujjah yang benar. Itulah pokok jalan keluarnya.

Al-hasil, jalan yang harus ditempuh adalah merestorasi pemahaman ummat dengan menanamkan aqidah shahihah, menegakkan shalat berjemaah, mendisiplinkan da'wah Islamiyah, dan membentuk serta melaksanakan sistem pendidikan yang sesuai dengan Islam. Bila semua itu ditempuh maka pada masanya akan datang kebenaran pada hati-hati Muslimin dan hancurlah kebatilan, tersingkir dari benak-benak Muslimin. Dari individu-individu Muslim, ke tingkat keluarga, ke tingkat kelompok, dan kemudian insya Allah akan ke tingkat yang lebih luas lagi, sehingga akan meratalah pemahaman yang benar tentang Islam. Kalau toh tidak sampai merata, insya Allah pribadi-pribadi yang terselamatkan itu sendiri berarti telah selamat dari kesesatan pemikiran.

Semua itu harus dimulai, Ibda' binafsik. Mulailah dengan dirimu sendiri lebih dulu, Mari.

Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan bashirah yang mampu mendeteksi bahwa yang batil ataupun menyimpang itu tampak batil, sehingga kita mampu menghindarinya. Amien.

Selengkapnya...

Waspadai Kejahiliyyahan

"Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (QS. Al-Maidah:50)


Kejahiliyyahan tidak hanya terdapat pada masyarakat Arab sebelum Islam, tetapi ada pada setiap masyarakat, tempat dan masa, yang berarti bahwa itu dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan dalam situasi serta kondisi yang bagaimanapun juga.

Menurut Ibnu Taimiyah, seperti yang dikutip oleh Muhammad Qutb, jahl itu bermakna "Tidak memiliki atau tidak mengikuti ilmu." Karena itu, orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang yang haq (benar) adalah jahil, apalagi kalau tidak mengikuti yang haq itu. Atau tahu yang haq tapi perilakunya bertentangan dengan yang haq, meskipun dia sadar atau paham bahwa apa yang dilakukannya memang bertentangan dengan yang haq itu sendiri.

Didalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman tentang jahiliyyah yang penggunaannya untuk tiga hal. Hal ini menjadi penting untuk kita pahami agar dengan demikian kita menyadari bahwa jahiliyyah itu tidaklah semata-mata bodoh dalam arti tidak punya ilmu, apalagi sekedar bodoh secara intelektual.

1. Jahiliyyah Dalam Ketuhanan

Kata jahiliyyah digunakan untuk menggambarkan kebodohan menusia terhadap konsep ketuhanan yang benar. Manusia yang tidak mengetahui hakikat uluhiyah merupakan manusia yang jahil. Tuhan dalam Islam adalah sesuatu yang tidak bisa dibuat, tidak bisa dilihat dengan pandangan mata, tidak ada sesuatu yang bisa menyamainya, bahkan Tuhan itu justeru yang mencipta segala sesuatu, bukan dicipta oleh sesuatu. Dalam kaitan ini Allah SWT berfirman yang artinya: Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada satu kaum yang tetap menyembah berhala mereka. Bani Israil berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui/jahil." (QS: Al-A'raaf 138).

Ayat lain yang terkait dengan masalah ini adalah firman Allah yang artinya: Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (QS: Al-Baqarah 67)

Dalam Islam, Ketuhanan merupakan maslah yang paling mendasar, bila pada masalah ini manusia sudah menyimpang dari nilai-nilai Islam, maka tidak akan mungkin terwujud kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Karena itu, menjelaskan bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang benar yang harus disembah dan diabdi oleh setiap manusia adalah menjadi misi yang diemban oleh semua Nabi. Karena itu, bila manusia mengabaikan misi para Rsul ini, kehancuran hidup dunia dan akhirat tidak bisa dielakkan lagi sebagaimana sejarah telah mencatatnya, Allah berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu", maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk, ada orang yang sudah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (Rasul-rasul). (QS:An-Nahl 36)

2. Jahiliyyah Dalam Hukum

Dalam masalah hukum, Allah SWT juga menggunakan kata jahiliyyah untuk hukum-hukum selain dari hukum Allah atau hukum yang bertentangan dengan hukum-Nya. Itu sebabnya seorang muslim jangan menggunakan hukum yang lain kecuali hukum Allah atau jangan gunakan hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam pelaksanaan hukum, manusia sebenarnya mencari keadilan dan manusia tidak akan memperoleh keadilan itu kecuali apabila hukum-hukum Allah ditegakkan. Karena itu, amat aneh apabila manusia ingin mendapatkan keadilan yang hakiki, tapi hukum-hukum lain, yakni hukum yang bertentangan dengan hukum Allah diperjuangkan penegakkannya. Hukum yang datang dari Allah memberikan keadilan bagi umat manusia, baik dalam masalah pribadi, keluarga maupun masyarakat, negara dan bangsa. Allah berfirman yang artinya: "Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (QS: Al-Maidah 50).

Sebagai sebuah contoh, ketika beberapa orang sahabat datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta komentar atas terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan para pembesar masyarakat tapi mereka dibiarkan saja dengan kesalahan dan dosa yang mereka lakukan, maka Rasulullah SAW menegaskan: "Seandainya anakku, Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya". Disamping itu, ketika Ali bin Abi Thalib mengajukan ke pengadilan seorang Yahudi yang mencuri baju besinya kepada Khalifah Umar bin Khattab, maka di pengadilan itu, Umar justeru membebaskan orang Yahudi dari segala tuduhan, karena kesalahan yang dilakukannya tidak bisa dibuktikan secara hukum. Tegasnya amat banyak contoh dalam sejarah yang menggambarkan betapa bila hukum-hukum Allah ditegakkan, manusia akan mendapatkan keberuntungan, bahkan tidak hanya bagi kaum muslimin, tapi juga mereka yang non muslim. Sementara ketika hukum-hukum jahiliyyah yang tegak, maka yang menderita bukan hanya mereka yang jahiliyyah, kita yang taat kepada Allah juga bisa merasakan akibat buruknya. Hanya persoalannya, begitu banyak manusia yang "bodoh" sehingga tidak bisa membedakan mana yang haq dan bathil dan akibatnya tidak bisa menjatuhkan pilihannya kepada yang haq itu.

Oleh karena itu, siapa saja yang tidak mau berhukum kepada hukum Allah, akan dimasukkan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, Allah berfirman yang artinya: "Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS: Al-Maidah 44).

3. Jahiliyyah Dalam Akhlak

. Kata jahiliyyah juga digunakan oleh Allah SWT untuk menamakan akhlak atau prilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang datang dari Nya, misalnya saja penampilan seorang wanita yang tidak Islami, sikap sombong, pembicaraan yang tidak bermanfaat, perzinahan dll. Allah SWT berfirman dalam kaitan menceritakan kasus yang terjadi pada Nabi Yusuf yang artinya: Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu akan cenderung (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS: Yusuf 33)

Pada ayat lainnya, Allah SWT juga berfirman yang artinya: Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu. (QS: Al-Ahzaab 33). Terdapat juga firman lain yang artinya: Ketika orang-orang kafir menanamkan kedalam hati mereka kesombongan (yaitu) jahiliyyah lalu Allah SWT menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min. (QS: Al-Fath 26). Dan ayat yang menggambarkan kejahiliyyahan dalam bentuk pembicaraan yang tidak bermanfaat adalah firman Allah yang artinya: Dan apabila mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang jahil." (QS: Al-Qashash 55).

Kejahiliyyahan dalam akhlak telah membawa dampak negatif yang sangat besar sejak masa lalu hingga hari ini dan hari kiamat nanti. Terjadi kerusakan dibidang perekonomian, kemasyarakatan hingga lingkungan hidup yang didiami oleh manusia dan manusia mengalami akibat dari semua itu. Allah berfirman yang artinya: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan menusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS: Ar-Rum 41).

Dalam kehidupan kita di dunia ini, tiga persoalan di atas merupakan sesuatu yang tidak terpisah-pisah, yakni aqidah, syari'ah, dan akhlak. Karena itu, apabila pada tiga sisi ini tidak sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam diri kita, itu berarti telah terjadi kejahiliyyahan pada diri kita yang tentu saja harus kita jauhi, karena kejahiliyyahan merupakan sesuatu yang tercela dan itu sebabnya Rasulullah SAW bertugas membebaskan manusia dari segala unsur kejahiliyyahan.

Jazakallah

Selengkapnya...

Indahnya Persaudaraan Islam

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat Rahmat." (QS. Al-Hujarat:10)

Allah SWT banyak menekankan arti persaudaraan sesama muslim dalam banyak ayat. Bahkan agar saling memintakan apapun satu sama lain (QS. Al-Hasyr:10) karena banyak saudara seorang muslim merasa kuat, aman dan mendapat perhatian. Dalam persaudaraan terdapat pula hak dan kewajiban minimal ada 6 seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.

Hak seorang muslim terhadap muslim lainya ada enam (dalam riwayat lain disebutkan ada 5):

1. Apabila diberi salam hendaknya dijawab.
2. Apabila diundang hendaknya dipenuhi.
3. Apabila diminta nasihat hendaknya memberi nasihat.
4. Apabila bersin dan mengucapkan hamdallah, hendaknya dijawab yarhamukallah.
5. Apabila sakit hendaknya dikunjungi.
6. Apabila dia wafat hendaknya diantar sampai kuburan. (HR. Muslim).

Ada beberapa hal yang dapat merusak persaudaraan itu, diantaranya sombong, egois, senang memperolok atau mengejek, berbangga diri karena keturunannya, kemaksiatan karena lali terhadap Allah, meninggalkan hukum Allah dsb. Kondisi ummat Islam umumnya dan Indonesia khusunya menuntut persaudaraan lebih urgent. Namun demikian kita jangan termakan propaganda kaum salibis yang sedang gencar menyebarkan dakwah persaudaraan kepada ummat Islam dalam rangka menyeret ummat Islam ke dalam ajaran mereka. Naudzubillahi mindzalik.
Selengkapnya...

Islam dan Persatuan

Kita sekarang ini ditengah-tengah gelombang perobahan, yang sedang berjalan. Gelombang itu suatu saat mengalami pasang naik dan saat yang lain mengalami pasang surut.

Jika pengemudi dan awak serta penumpang kapal, kurang sabar dalam menghadapi benturan-benturan gelombang, maka terjadilah kepanikan pada semua penumpang kapalnya.

Pergantian kepemimpinan nasional Indonesia yang berlangsung dengan singkat, khidmat dan sederhana tanpa adanya upacara-upacara sebagaimana mestinya, merupakan suatu perobahan besar dan luar biasa. Dan terasa lebih besar lagi, karena perobahan tersebut tanpa terjadi pertumpahan darah.

Sejak itu, angin kebebasan mulai nampak dan terasa. Kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul serta pembebasan hak-hak rakyat yang selama ini terbelenggu sudah ditetapkan dengan undang-undang. Dalam derap langkah kebebasan tersebut, juga tak lepas dari ekses-ekses. Ada yang memahaminya kebebasan itu demi kebebasan, sehingga bisa merugikan atau bahkan melanggar kebebasan orang lain.

Munculnya partai-partai, yang diantara sebagaian dari partai-partai tersebut ada yang tegas-tegas memilih Islam sebagai azasnya, dan ada pula yang menyatakan berakidah Islam. Keadaan ini tidak perlu dirisaukan benar karena pada akhirnya nanti akan terjadi seleksi secara alamiah.

Langkah awal yang perlu dilakukan sekarang adalah dilakukanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengejawantahkan ajaran Islam ke dalam kehidupan pribadi para aktivis partai, sehingga para politisi muslim yang tampil adalah orang-oarng yang memiliki integritas pribadi yang tinggi, jujur, ikhlas, pekerja keras, bersih dan berani menyatakan al-haq dimana dan kapan pun.

Disamping itu, umat Islam secara keseluruhan harus mampu mentransformasikan nilai-nilai Islam kedalam kehidupan bermasyarakat, sehingga mereka mampu memecahkan problem-problem aktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara.

Terakhir sesama umat Islam harus mampu menjaga ukhuwah Islamiyah diantara mereka, serta menjaga hubungan baik diantara sesama muslim, dan jagan memandang adanya perbedaan golongan ataupun partai.

Selama perjuangan kita itu disertai dengan niat yang ikhlas berdasarkan iman dan taqwa, maka tidak ada perbedaan yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia. Persatuan umat Islam adalah modal pokok bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini. Selama ini sejarah telah berbicara bahwa umat Islam senantiasa berdiri di barisan paling depan dalam menciptakan, memelihara dan memperkuat persatuan bangsa.
Selengkapnya...

Kekuasaan Itu Amanat dari Allah

Kemerdekaan mempunyai makna yang luas, artinya bahwa bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri berbagai, segi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk kehidupan politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Kalau pada masa penjajahan belanda umat Islam diatur oleh bangsa lain, sejak tahun 1945, semua diatur oleh umat Islam sendiri dengan leluasa. Tak ada lagi pembatasan untuk mengamalkan apa yang diyakini dalam hati.

Bagi umat Islam, apa makna kemerdekaan ditinjau dari sudut syariat? Kemerdekaan adalah salah satu nikmat yang diberikan Allah SWT. Nikmat itu hendaklah dipandang sebagai suatu amanat atau titipan dari Allah SWT kepada kita. karena itu Al-Qur'an dalam surat An-Nisa ayat 58 mengingatkan:

"Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang layak menerimanya. Apabila kamu mengadili diantara manusia, bertindaklah dengan adil, Sungguh Allah mengajar kamu dengan sebaik-baiknya, karena Allah Maha Mendengar, Maha Melihat"

Kalau ada diantara kita yang memegang amanat, dalam bentuk kekuasaan, atau kewenangan; apakah sebagai lurah,camat, bupati, gubernur, atau jabatan lain, maka semua itu hakikatnya memegang amanah yang harus disampaikan kepada yang berhak.

Dalam arti yang lebih luas, kemerdekaan itu amanah yang diberikan Allah sebagai karunia-Nya kepada segenap manusia sebagai individu dn sebagai warga negara RI. Karena itu, adalah menjadi kewajiban untuk memelihara kemerdekaan ini dengan cara sebaik-baiknya. Dengan demikian, inilah makna kita pandai menyukuri nikmat dari Allah dalam bentuk kemerdekaan. Dalam Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 7 disebutkan:

Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan: "Jika kamu bersyukur, Aku akan memberi tambahan (karunia) kepadamu; tetapi jika kamu tidak bersyukur, sungguh adzab-Ku dasyat sekali"

Maksud ayat diatas, memerintahkan manusia agar pandai menyukuri nikmat Allah; antara lain nikma0t kemerdekaan. Artinya mensyukuri nikmat disini bukan hanya mengucapkan lafadh 'alhamdulillah' seperti biasa diucapkan, tapi harus menggunakan nikmat itu sesuai perintah-Nya. Kemerdekaan harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa Indonesia baik spirritual maupun material.

Sebagai disebutkan dalam ayat tadi, arti kufur nikamt dapat dipahami; orang yang mendapat karunia Allah, tapi menggunakn nikmat itu tidak sesuai dengan jalan yang diperintahkan-Nya. Dengan kata lain, telah menyimpang dari ajaran Allah SWT, atau menyalahgunakan nikmat.

Peran umat Islam dalam bernegara adalah menjalankan prinsip-prinsip yang dijalankan Al-Qur'an, yaitu prinsip Islam dalam bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip tersebut dapat disimak dalam surat An-Nisa ayat 59:


"Hai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang memegang kekuasaan diantara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rosul-Nya, kalau kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang terbaik dan penyelesaian yang tepat."

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah," yaitu menjalankan perintah Allah yang telah diwahyukan-Nya melalui Al-qur'an. "Taatlah pula kepada Rosulullah saw, yang telah membimbing kita melalui ajaran-ajaranya", yang disebut sunah Rosulullah, adalah yang merupakan penjelasan terhadap Al-Qur'an. "Dan kepada orang-orang yang berwenang di antara kamu", artinya umat Islam wajib taat kepada kalangan kita yang kebetulan memegang otoritas baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang lain.

Tetapi prinsip ketaatan dalam Islam ini bersifat tanpa reserve. Artinya, pemimpin itu harus ditaati hanya selama dia menjalankan perintah Allah. Kalau dalam menjalankan kekuasaanya tidak cocok dengan perintah Allah dan Rosul-Nya, tidk ada keharusan untuk taat kepadanya. Dalam haditsnya, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya ketaatan itu dalam hal-hal yamg ma'ruf (baik)".

Kalau kita diminta, baik langsung ataupun tidak langsung untuk bersikap taat dalam hal-hal yang munkarat, maka tidak harus menaatinya. Bahkan wajib melawnya, sebagai bukti penentangan.

Kecuali hal di atas, tugas umat Islam sangat penting adalah mengentaskan kemiskinan, terutama dikalangan umat Islam sendiri. Ajaran Islam telah menawarkan berbagai konsep pengentasan kemiskinan dan konsep itu saya namakan lembaga-lembaga sosial Islam. Yang sudah dikenal adalah: zakat, infaq, shodaqoh, wakaf, wasiat, qurban dan aqiqah. Semua lembaga itu mengajarkan agar seluruh umat Islam berperan serta mengentaskan kemiskinan, Salah satu pesan Al-Qur'an surat Adz-Dzariyat ayat 19: "Dan dlam harta mereka (selalu ingat) akan hak (orang miskin) yang meminta, dan yang (karena suatu alasan) tak mau meminta".

Jadi inilah yang dimaksud Zakat. Zakat sebenarnya adalah hak bagi orang miskin. Kemudian infaq dan shodaqoh, dan sebagainya adalh merupakan hal yang sangat dianjurkan. Itulah beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagi perwujudan sikap syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan nikmat yang tiada ternilai harganya untuk umat Islam Indonesia, yaitu kemerdekaan.
Selengkapnya...

Ilmu-Ilmu Alquran (bag. 2)

Demikianlah, tafsir pada mulanya dinukil (dipindahkan) melalui penerimaan dari riwayat (dari mulut ke mulut), kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadis, selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka, berlangsunglah proses kelahiran tafsir bil ma'tsur (tafsir berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra'yi (tafsir berdasarkan penalaran).

Di samping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Alquran, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufassir (ahli tafsir).

Ali bin al-Madini (wafat 234 H) yang merupakan guru Bukhari menyusun karangan tentang asbaabun-nuzuul. Abul Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat 224) menulis Naasikh wal-Mansuukh dan Qira-at.

Ibnu Qutaibah (wafat 276 H) menyusun tentang problematika quran (Musykilaatul Qur'an). Mereka semua termasuk ulama abad ke-3 Hijriah.

Muhammad bin Khalaf bin Marzaban (wafat 309 H) menyusun Al-Haawi wa-Uluumil Quraan.

Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 751 H) juga menulis tentang ilmu-ilmu Alquran.

Abu Bakar as-Sijistani (wafat 330 H) menyusun Ghariibul Qur'an.

Muhammad bin Ali al-Adfawi (wafat 388 H) menyusun Al-Istighna' fii 'Uluumil Qur'an.

Mereka ini adalah ulama-ulama abad ke-4 Hijriah.

Dan, sesudah itu kegiatan karang-mengarang dalam ilmu Alquran terus berlangsung.

Abu Bakar al-Baqalani (wafat 403 H) menyusun I'jaazul Qur'an, dan Ali Ibrahim bin Said al-Hufi (wafat 430 H) menulis I'rabul Qur'an. Al-Mawardi (wafat 450 H) mengenai tamsil-tamsil dalam Quran (Amtsaalul Qur'an). Al-Izz bin Abdussalam (wafat 660 H) tentang majaz dalam Alquran. Alamudin as-Sakhawi (wafat 643 H) menulis mengenai ilmu qiraat (cara membaca Alquran), dan Aqsaamul quraan. Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu Quran.

Syekh Muhammad Abdul Aziz az-Zarqani menyebutkan dalam kitabnya, Manaahilul 'Irfaan fii Uluumil Qura'an, bahwa ia telah menemukan dalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Said yang terkenal dengan Al-Hufi, judulnya Al-Burhaan fii Uluumil Qura'an yang terdiri dari 30 jilid. Dari ke-30 jilid itu ada 15 jilid yang tidak tersusun dan tidak berurutan. Pengarang membicarakan ayat-ayat Alquran menurut tertib mushaf. Dia membicarakan ilmu-ilmu Alquran yang terkandung ayat itu secara sendiri, masing-masing diberi judul sendiri pula, dan judul yang umum disebutkan dalam ayat, dengan menuliskan alqaul fii qaulihi 'Azza wa Jalla (pendapat mengenai firman Allah ), lalu disebutnya ayat itu. Kemudian di bawah judul ini dicantumkan alqaul fii al-Ii'rab (pendapat mengenai morfologi). Di bagian ini ia membicarakan ayat dari sisi nahwu dan bahasa. Selanjutnya al-qaul fil ma'na wat tafsiir (pendapat mengenai makna dan tafsirnya). Di sini ia jelaskan ayat itu berdasarkan riwayat (hadis) dan penalaran. Setelah itu al-qaul fil waqfi wal tamam (pendapat mengenai tanda berhenti dan tidak). Di sini ia menjelaskan tentang waqaf yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Terkadang qira'at diletakkan dalam judul tersendiri, yang disebutnya dengan al-qaul fil qira'at (pendapat mengenai qira'at). Kadang ia berbicara tentang hukum-hukum yang diambil dari ayat ketika ayat dibacakan.

Dengan metode seperti ini, Al-Hufi dianggap sebagai orang pertama yang membukukan ulumul qur'an (ilmu-ilmu Alquran), meskipun pembukuannya memakai cara tertentu seperti disebutkan tadi. Ia wafat pada tahun 330 Hijriah.

Kemudian, Ibnul Jauzi (wafat 597 H) mengikutinya dengan menulis sebuah kitab berjudul Fununul Afnan fi Ajaa'ibi Uluumil Qur'an. Lalu, tampil Badrudin az-Zarkasyi (wafat 794 H) menulis sebuah kitab dengan judul Al-Burhan fi Uluumil Qur'an Jalaaludin al-Baqini (wafat 824 H) memberikan tambahan atas Al-Burhan di dalam kitabnya Mawaaqi'ul Uluum min Maawaqi'in Nujum, Jalaludin as-Suyuti (wafat 911 H) juga kemudian menyusun kitab yang terkenal Al-Itqan fi Uluumil Qura'an.

Kepustakaan ilmu-ilmu Quran pada masa kebangkitan modern tidaklah lebih kecil daripada nasib ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran Islam telah mengambil langkah yang positif dalam membahas kandungan Quran dengan metode baru pula, seperti I'jaazul Qura'an yang ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi'i, kitab At-Taswiirul Fanni fil Qur'an dan Masyaahidul Qiyamah fil Qur'an oleh Sayyid Qutb, Tarjamatul Qur'an oleh Syekh Mustafa al-Maraghi, yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-Khatib, Mas'alatu Tarjaamatil Qur'an oleh Mustafa Sabri, An-Naba'ul Azim oleh Dr. Muhammad Abdullah Daraz, dan Mukadimah Tafsir Mahasinut Ta'wil oleh Jalaaludin al-Qasimi.

Syekh Tahir al-Jazairi menyusun sebuah kitab dengan judul At-Tibyaan fii Uluumil Qur'an. Syekh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhaajul Furqaan fii Uluumil Qur'an, yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan untuk fakultas usuludin di Mesir dengan spesialisasi dakwah dan bimbingan masyarakat. Kemudian, hal itu juga diikkuti oleh muridnya, Muhammad Abdul Azim az-Zarqani yang menyusun Manaahilul 'Irfaan fi Uluumil Quran. Kemudian, Syekh Ahmad Ali menyusun Muzakkirat Uluumil Qur'an yang disampaikan kepada para mahasiswanya di fakultas usuludin jurusan dakwah dan bimbingan masyarakat. Akhirnya, muncul Mabaahits fii Uluumil Qur'an oleh Dr. Subhi as-Shaleh. Juga Ustad Ahmad Muhammad Jamal menulis beberapa studi sekitar masalah ma'idah dalam Quran.

Pembahasan-pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan uluumul quran, dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut. Kata ulum jamak dari kata ilmu. Ilmu berarti al-fahmu wal idrak (paham dan menguasai). Kemudian, arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.

Jadi, yang dimaksud dengan ulumul quran ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Quran dari segi asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya Quran), pengumpulan dan penertiban Quran, pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah, an-nasikh wal-mansukh, al-muhkam wal-mutasyaabih, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Alquran. Terkadang ilmu ini juga dinamakan usuulut tafsir (dasar-dasar tafsir), karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Alquran.

Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran , terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Quraan, Manna' Khaliil al-Qattaan.


Selengkapnya...

Ilmu Ilmu Alquran (bag 1)

Alquran adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah saw. untuk mengeluarkan manusia dari suasana gelap menuju terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah saw. menyampaikan Alquran kepada para sahabatnya, orang Arab asli. Sehingga, mereka dapat memahaminya berdasarkan nalurinya. Bila mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah saw.

Pengertian, Pertumbuhan, dan Perkembangannya

Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a., katanya, "Ketika ayat yang artinya, 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' diturunkan, banyak orang yang merasa resah. Mereka kemudian menanyakannya kepada Rasulullah saw. "Ya Rasulullah saw., siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?" Nabi menjawab, "Kezaliman di sini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh, 'Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang besar'." (Luqman: 13). Jadi, yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah kemusyrikan."

Disamping itu, Rasulullah saw. juga menafsirkan untuk mereka beberapa ayat. Dalam riwayat Muslim dan yang lainnya dari Uqbah bin Amir berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. berkata di atas mimbar yang artinya, 'Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi.' (Al-Anfal: 60). Ingatlah bahwa kekuatan di sini adalah memanah."

Para sahabat sangat antusias untuk menerima Alquran dari Rasulullah saw., menghafal dan memahaminya. Ini merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Anas r.a. berkata, "Seseorang di antara kami bila telah membaca surah Al-Baqarah dan Ali Imran, orang itu menjadi besar dalam pandangan kami." Begitu pula mereka selalu berusha mengamalkan Alquran dan memahami hukum-hukumnya.

Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami yang mengatakan, "Mereka yang membacakan Alquran kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud serta yang lain menceritakan bahwa bila mereka belajar dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata, 'Kami mempelajari Alquran berikut ilmu dan amalnya sekaligus'."

Rasulullah saw. tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dirinya, selain Alquran, karena beliau khawatir akan tercampur dengan yang lain.

Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kamu menulis dari aku. Barang siapa menulis dari aku selain Alquran, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia menempati tempatnya di api neraka."

Sekalipun setelah itu Rasulullah saw. mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadis, tetapi hal yang berhubungan dengan Alquran tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah saw. di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra.

Kemudian datang masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. dan keadaan menghendaki (seperti yang akan kami jelaskan nanti) untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut "Mushaf Imam". Salinan-salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa provinsi. Penulisan mushaf tersebut disebut Ar-Rasmu al-Utsmani, yaitu dinisbatkan kepada Utsman. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu rasmil quran.

Kemudian datang masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du'ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku, serta memberikan ketentuan-ketentuan harakat pada Alquran. Ini juga dianggap sebagai permulaan i'rabil quran.

Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Alquran dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda di antara mereka, sesuai dengan kemampuannya yang berbeda-beda dalam memahami, dan karena adanya perbedaan lama tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah saw. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi'in.

Di antara para mufassir(ahli tafsir) yang termasyhur dari kalangan sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibnu Mas'ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka'ab, Abdurrahman bin Auf , Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari dan Abdullah bin Zubair.

Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas dan Ubai bin Ka'ab. Dan, apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Alquran yang sempurna, tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi'in, di antara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat, di samping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.

Di antara murid-murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah Sa'id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, bekas sahaya (maula) Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha' bin Abi Rabah. Sementara, di antara murid-murid Ubay bin Ka'ab yang terkenal di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka'ab al-Qurazi. Di antara murid-murid Abdullah bin Mas'ud di Irak yang terkenal adalah al-Qamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya'bi, Hasan al-Basri, dan Qatadah bin Di'amah as-Sadusi.

Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekah, karena mereka sahabat Ibnu Abbas, seperti Mujahid, Atha' bin Abi Rabah, Ikrimah, maula Ibnu Abbas lainnya, seperti Thawus, Abusy-Sya'sa, Said bin Jubair, dan lain-lainnya. Begitu pula penduduk Kufah dari sahabat Ibnu Mas'ud, dan mereka itu mempunyai kelebihan dalam ilmu tafsir di antaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb, mereka berguru kepadanya. Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu gharibil quran, ilmu makki wal madani dan ilmu nasikh dan mansukh. Tetapi, semua ini didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.

Pada abad ke-2 Hijriah tiba masa pembukuan (tadwin) yang yang dimulai dengan pembukuan hadis dengan segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka, sebagian ulama membukukan tafsir Quran yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dari para sahabat atau dari para tabi'in. Di antara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syu'bah bin Hajjaj (wafat 160 H), Waki' bin Jarrah (wafat 197H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198), dan Abdurrazaq bin Hammam (wafat 112). Mereka semua adalah para ahli hadis; tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun, tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita. Kemudian, langkah mereka itu diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Alquran yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal di antara mereka adalah Ibn Jarir at-Thabari (wafat 310 H).

Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran , terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Quraan, Manna' Khaliil al-Qattaan.
Selengkapnya...

Al Qur'an

Di antara kemurahan Allah terhadap manusia adalah Dia tidak saja memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke waktu Dia mengutus seorang rasul kepada umat manusia dengan membawa kitab dari Allah, dan menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah saja, menyampaikan kabar gembira, dan memberikan peringatan agar menjadi bukti bagi manusia.

"(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An Nisaa':165).

Perkembangan dan kemajuan berpikir manusia senantiasa disertai wahyu yang sesuai dan dapat memecahkan problematika yang dihadapi kaum setiap rasul, sampai perkembangan itu mengalami kematangannya. Allah menghendaki agar risalah Muhammad saw. muncul di dunia ini, maka diutuslah beliau saat manusia tengah mengalami kekosongan para rasul, untuk menyempurnakan "bangunan" saudara-saudara pendahulunya (para rasul) dengan syariatnya yang universal dan abadi, serta dengan kitab yang diturunkan kepadanya, yaitu Alquran.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Perumpamaan diriku dengan para nabi sebelumku adalah bagaikan orang yang membangun sebuah rumah. Ia kemudian membaikkan dan memperindah rumah itu, kecuali letak satu bata di sebuah sudutnya. Maka orang-orang pun mengelilingi rumah itu, mereka mengaguminya dan berkata, 'Seandainya bukan karena batu bata ini, tentulah rumah itu sudah sempurna.' Maka akulah batu bata itu, dan akulah penutup para nabi." (HR Muttafaqun 'Alaihi).

Alquran adalah risalah Allah kepada seluruh manusia. Banyak nas yang menunjukkan hal itu, baik di dalam Alquran maupun sunah. "Katakanlah, 'Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua ...." (Al-A'raaf: 158).

"Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Alquran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (Al Furqaan: 1).

Rasulullah saw. bersabda, "Setiap nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sedang aku diutus kepada segenap umat manusia." (HR Bukhari Muslim).


Sesudah Muhammad saw. tidak akan ada lagi kerasulan lain. "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al Ahzaab: 40). Maka, tidaklah aneh bila Alquran dapat memenuhi semua tuntutan kemanusiaan berdasarkan asas-asas pertama konsep agama samawi.

Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu 'Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya ...." (Asy Syuuraa: 13).

Rasulullah saw. juga telah menantang orang-orang Arab dengan Alquran, padahal Alquran diturunkan dengan bahasa mereka, dan mereka pun ahli dalam bahasa dan retorikanya. Namun, ternyata mereka tidak mampu membuat apa pun seperti Alquran, atau membuat sepuluh surat saja, bahkan satu surah pun seperti Alquran. Maka, terbuktilah kemukjizatan Alquran dan terbukti pula kerasulan Muhammad.

Allah juga menetapkan untuk menjaga Alquran dan menjaga pula penyampaiannya yang beruntun, sehingga tak ada penyimpangan atau perubahan apa pun. Tentang Jibril yang membawa Alquran didasarkan pada firman Allah yang artinya, "Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-amin (Jibril)." (Asy Syu'araa: 193).

Dan, diantara sifat Alquran dan sifat orang yang diturunkan kepadanya Alquran adalah "Sesungguhnya Alquran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dan Dia (Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib." (At Takwiir: 19--24).

"Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan." (Al Waaqi'ah: 77--79).

Keistimewaan yang demikian ini tidak dimiliki oleh kitab-kitab yang terdahulu, karena kitab-kitab itu diperuntukkan bagi satu waktu tertentu. Maha Benar Allah dalam firman-Nya yang artinya, "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-dzikr (Alquran), dan sesungguhnya Kamilah yang benar-benar akan menjaganya." (Al Hijr: 9).


Risalah Alquran di samping ditujukan kepada manusia, juga kepada jin. "Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Alquran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, 'Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).' Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, 'Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Alquran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya ...'."(Al Ahqaf: 29--31).

Dengan keistimewaan ini, Alquran memecahkan problematika manusia dalam berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik dengan solusi yang bijaksana. Karena, ia diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Pada setiap problem itu Alquran meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia, dan yang sesuai pula buat setiap zaman. Dengan demikian, Alquran selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, "Islam adalah suatu sistem yang lengkap; ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan; ia adalah pengetahuan dan undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan, atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau negara dan ideologi. Begitu pula, ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah."

Manusia yang kini hati nuraninya tersiksa dan akhlaknya rusak tidak mempunyai pelindung lagi dari kejatuhannya ke jurang kehinaan selain Alquran. "... barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (Thaahaa: 123--124).

Kaum muslimin sendirilah yang membangun obor di tengah gelapnya sistem dan prinsip lain. Mereka harus menjauhkan diri dari segala kegemerlapan yang palsu. Mereka harus membimbing manusia yang kebingungan dengan Alquran sehingga terbimbing ke pantai keselamatan. Seperti halnya kaum muslimin dahulu mempunyai negara dengan melalui Alquran, maka tidak boleh tidak pada masa kini pun mereka harus memiliki bangsa dengan Alquran juga.

Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran , terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Quraan, Manna' Khaliil al-Qattaan.
Selengkapnya...

Definisi Al Qur'an

Secara Bahasa

Qara'a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qiraah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam satu ucapan yang tersusun rapi. Quran pada mulanya seperti qiraah, yaitu masdar (infinitif) dari kata qara'a, qiraatan quranan. Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu." (Al-Qiyaamah: 17--18).

Kata qur'anah (bacaannya) pada ayat di atas berarti qiraatuhu (bacaannya/cara membacanya). Jadi, kata itu adalah masdar menurut wazan (konjugasi) fu'lan dengan vokal u seperti ghufran dan syukran. Kita dapat mengatakan qara'tuhu, quran, qiraatan wa quranan, artinya sama saja. Di sini maqru' (apa yang dibaca) diberi nama quran (bacaan), yakni penamaan maf'ul dengan masdar.

Quran dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad saw. sehingga Quran menjadi nama khas bagi kitab itu, sebagai nama diri. Secara gabungan, kata itu dipakai untuk nama Quran secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka, jika kita mendengar orang membaca ayat Quran, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Alquran. "Dan, apabila dibacakan Quran, maka dengarlah dan perhatikanlah ...." (Al-A'raaf: 204).

Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan kitab ini dengan nama Alquran di antara kitab-kitab Allah itu karena kitab ini mencakup inti dari kitab-kitab-Nya, bahkan mencakup inti dari semua ilmu. Hal itu diisyaratkan dalam firman-Nya yang artinya, "Dan, Kami turunkan kepadamu al-kitab (Quran) sebagai penjelasan bagi segala sesuatu." (An-Nahl: 89).

"Tiada Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-kitab ini (Quran)." (Al-An'am: 38).

Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Quran itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai kata jadian. Mungkin karena ia dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi saw. dan bukannya kata jadian dari qaraa atau mungkin juga karena ia berasal dari kata qarana asy-syai' bi asy-syai', yang berarti memperhubungkan sesuatu dengan yang lain atau juga berasal dari kata qaraain (saling berpasangan), karena ayat-ayatnya satu dengan yang lain saling menyerupai. Dengan demikian, huruf nun itu asli. Namun, pendapat ini masih diragukan, yang benar adalah pendapat yang pertama.

Secara Istilah

Quran memang sukar diberi batasan-batasan dengan definisi-definisi logika yang mengelompokkan segala jenis, bagian-bagian, serta ketentuan-ketentuannya yang khusus: mempunyai genus, differentia, dan propium, sehingga definisi Quran memiliki batasan yang benar-benar kongkret. Definisi Alquran yang kongkret adalah menghadirkannya dalam pikiran atau dalam realita, misalnya kita menunjuk sebagai Quran kepada yang tertulis dalam mushaf atau terbaca dengan lisan. Untuk itu, kita katakan, "Quran adalah apa yang ada di antara dua buku," atau kita katakan juga, "Alquran adalah bismillaahir rahmaanir rahiim, alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin … minal jinnati wannaas."

Para ulama menyebutkan definisi Alquran yang mendekati maknanya dengan membedakan dari yang lain dengan menyebutkan bahwa Alquran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang pembacaannya merupakan ibadah. Dalam definisi kalam merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan, dengan menggabungkannya kepada Allah (kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam manusia, jin, dan malaikat.

Dan, dengan kata-kata yang diturunkan, maka tidak termasuk kalam Allah yang sudah khusus bagi milik-Nya.

"Katakanlah, 'Sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuliskan firman Rabku, akan habislah lautan sebelum firman Rabku habis ditulis, sekalipun Kami berikan tambahannya sebanyak itu pula." (Al-Kahfi: 109).

"Dan, seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan menjadi tinta, ditambahkan sesudahnya tujuh lautan lagi, niscaya kalam Allah tidak akan habis-habisnya." (Luqman: 27).


Dan, membatasi apa yang diturunkan itu hanya kepada Muhammad saw., tidak termasuk apa yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya, seperti Taurat, Injil, dll.

Adapun yang pembacaannya merupakan suatu ibadah mengecualikan hadis-hadis ahad dan hadis-hadis qudsi--bila kita berpendapat bahwa yang diturunkan Allah itu kata-katanya--sebab kata-kata pembacaannya sebagai ibadah, artinya perintah untuk membacanya di dalam salat dan lainnya sebagai suatu ibadah, sedangkan qiraat ahad dan hadis-hadis qudsi tidak demikian halnya.

Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran , terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Qur'aan, Manna' Khaliil al-Qattaan.
Selengkapnya...

Nama dan Sifat Alquran

Al-Qur'an mempunyai beberapa nama yang kesemuanya menunjukkan kedudukannya yang tinggi dan luhur, dan secara mutlak Al-Qur'an adalah kitab samawy yang paling mulia

Karenanya dinamailah kitab samawy itu dengan: Al-Qur'an, Al-Furqan, At-Tanzil, Adz-Dzikr, Al-Kitab dsb. Seperti halnya Allah juga telah memberi sifat tentang Al-Qur'an sifat-sifat yang luhur antara lain; nur (cahaya), hudan (petunjuk), rahmat, syifa' (obat), mau'izhah (nasihat), 'aziz (mulia), mubarak (yang diberkahi), basyir (pembawa khabar baik), nadzir (pembawa khabar buruk) dan sifat-sifat lain yang menunjukkan kebesaran dan kesuciannya.


Allah menamakan Alquran dengan beberapa nama;

Alquran

"Alquran ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus." (Al-Isra': 9).

Kitab

"Telah kami turunkan kepadamu al-kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu." (Al-Ambiya': 10).

Furqan

"Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada semesta alam." (Al-Furqan: 1).

Zikr

"Sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan az-zikr (Alquran) dan sesungguhnya kamilah yang benar-benar akan menjaganya." (Al-Hijr: 9).

Tanzil

"Dan, Alquran ini Tanzil (diturunkan) dari Tuhan semesta alam." (Asy-Syu'ara: 192).

Quran dan al-kitab lebih populer dari nama-nama yang lain. Dalam hal ini Dr. Muhammad Abdullah Daraz berkata, "Ia dinamakan Quran karena ia 'dibaca' dengan lisan, dan dinamakan al-kitab karena ia 'ditulis' dengan pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang sesuai dengan kenyataannya."

Penamaan Quran dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknyalah ia dipelihara dalam bentuk hapalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila di antara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain akan meluruskannya. Kita tidak dapat menyandarkan hanya kepada seseorang sebelum hapalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi ke generasi menurut keadaan sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan, kita pun tidak dapat menyandarkan hanya kepada tulisan penulis sebelum tulisan itu sesuai dengan hapalan tersebut berdasarkan isnad yang sahih dan mutawatir.

Dengan penjagaan yang ganda ini, yang oleh Allah telah ditanamkan ke dalam jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya, maka Quran tetap terjaga dalam benteng yang kokoh. Hal itu tidak lain untuk mewujudkan janji Allah yang menjamin terpeliharanya Quran, seperti difirmankan-Nya, "Sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan az-zikr (Alquran) dan sesungguhnya kamilah yang benar-benar akan menjaganya." (Al-hijr: 9).

Dengan demikian, Quran tidak mengalami penyimpangan, perubahan, dan keterputusan sanad, seperti terjadi pada kitab-kitab terdahulu.

Penjagaan ganda ini di antaranya menjelaskan bahwa kitab-kita samawi lainnya diturunkan hanya dalam waktu itu, sedang Quran diturunkan untuk membetulkan dan menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu, Quran mencakup hakikat yang ada di dalam kita-kitab terdahulu dan menambahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah. Quran menjalankan fungsi kitab-kitab sebelumnya, tetapi kitab-kitab itu tidak dapat menempati posisinya. Allah telah menakdirkan untuk menjadikannya sebagai bukti sampai hari kiamat. Dan, apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan mempermudah jalannya ke arah itu. Karena, Dia Mahabijaksana dan Mahatahu. Inilah alasan yang paling kuat.

Allah telah melukiskan Quran dengan beberapa sifat, di antaranya sebagai berikut.

Nur (Cahaya)

"Wahai manusia, telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang." (An-Nisa': 174).

Huda (Petunjuk), Syifa' (Obat), Rahmah (Rahmat), dan Mau'izah (Nasihat)

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Tuhanmu dan obat bagi yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Yunus: 57).

Mubin (yang Menerangkan)

"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan." (Al-Ma'idah: 15).

Mubarak (yang Diberkati)

"Dan, Alquran ini adalah kitab yang telah kami berkahi, membenarkan kitab-kitab yang diturnkan sebelumnya ...." (Al-An'am: 92).

Busyra (Kabar Gembira)

"... yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadikan petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (Al-Baqarah: 97).

'Aziz (yang Mulia)

"Mereka yang mengingkari az-zikr (Alquran) ketika Alquran datang kepada mereka, (mereka pasti celaka). Alquran adalah kitab yang mulia." (Fusilat: 41).

Majid (yang Dihormati)

"Bahkan yang mereka dustakan itu adalah Alquran yang dihormati." (Al-Buruj: 21).

Basyir (Pembawa Kabar Gembira ) dan Nazir (Pembawa Peringatan)

"Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa kabar gembira dan yang membawa peringatan." (Fusilat: 3--4).

Setiap penamaan atau pelukisan itu merupakan salah satu makna dalam Quran.

Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Quraan, Manna' Khaliil al-Qattaan.

Selengkapnya...

Perbedaan Antara Alquran, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi

Definisi Alquran telah dikemukakan pada halaman terdahulu, dan untuk mengetahui perbedaan antara definisi Alquran dengan hadis qudsi dan hadis nabawi, di sini kami kemukakan dua definisi.


Hadis Nabawi

Hadits (baru) dalam arti bahasa lawan dari kata qadim (lama). Dan, yang dimaksud hadis ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia, baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya maupun wahyu; baik dalam keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini, Alquran dinamakan hadis.

"Hadis (kata-kata) siapakah yang lebih benar selain dari pada Allah?" (An-Nisa: 87).

Begitu pula yang terjadi pada manusia, di waktu tidurnya juga dinamakan hadis.

"... dan engkau telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil dari hadis-hadis-maksudnya mimpi." (Yusuf: 101).

Adapun menurut istilah, pengertian hadis ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi saw., "Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan, setiap orang bergantung pada niatnya ...."(HR Bukhari).

Yang berupa perbuatan ialah seperti ajarannya kepada para sahabat mengenai bagaimana cara mengerjakan salat, kemudian ia mengatakan, "Salatlah seperti kamu melihat aku salat." (HR Bukhari).

Juga, mengenai bagaimana ia melaksanakan ibadah haji, dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, "Ambillah dariku manasik hajimu." (HR Muslim).


Adapun yang berupa persetujuan adalah seperti ia menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan; di hadapannya ataupun tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya, seperti makanan biawak yang dihidangkan kepadanya. Dan, persetujuannya dalam satu riwayat, Rasulullah saw. mengutus orang dalam satu peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam salat yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad. Setelah pulang, mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu Rasulullah saw. berkata, "Tanyakan kepadanya mengapa ia berbuat demikian?" Mereka pun menanyakan, dan orang itu menjawab, "Kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang membacanya." Maka Rasulullah saw. menjawab, "Katakan kepadanya bahwa Allah pun menyenangi dia." (HR Bukhari dan Muslim).

Yang berupa sifat adalah riwayat seperti bahwa Rasulullah saw. selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula berbicara kotor, dan tidak juga suka mencela.

Hadis Qudsi

Kita telah mengetahui makna hadis secara etimologi, sedangkan qudsi dinisbatkan kepada kata quds. Nisbah ini mengesankan rasa hormat karena materi kata itu sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka, kata taqdis berarti menyucikan Allah. Taqdis sama dengan tathir, dan taqaddasa sama dengan tathahhara (suci, bersih). Allah berfirman tentang malaikat,

"... padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ...." (Al-Baqarah: 30).

Hadis qudsi adalah hadis yang oleh Rasulullah saw. disandarkan kepada Allah. Maksudnya, Rasulullah saw. meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka, Rasulullah saw. menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafal dari Rasulullah saw. sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, dia meriwayatkannya dari Allah dengan disandarkan kepada Allah dengan mengatakan, "Rasulullah saw. mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya," atau ia mengatakan, "Rasulullah saw. mengatakan, 'Allah Taala telah berfirman atau berfirman Allah Taala'."

Contoh Pertama

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya, "Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik di waktu malam maupun siang hari ...." (HR Bukhari).

Contoh Kedua

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata, "Allah Taala berfirman, 'Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan, bila dia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, Aku pun menyebutnya di kalangan orang banyak yang lebih baik dari itu ...'." (HR Bukhari dan Muslim).

Perbedaan Alquran dengan Hadis Qudsi

Ada beberapa perbedaan antara Alquran dengan hadis qudsi, dan yang terpenting adalah sebagai berikut.

1. Alquran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. dengan lafal-Nya, dan dengan itu pula orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Alquran itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahkan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Alquran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat. Adapun hadis qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat.

2. Alquran hanya dinisbatkan kepada Allah, sehingga dikatakan Allah Taala berfirman. Adapun hadis qudsi, seperti telah dijelaskan di atas, terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah, sehingga nisbah hadis qudsi itu kepada Allah adalah nisbah dibuatkan. Maka dikatakan, Allah telah berfirman atau Allah berfirman. Dan, terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah saw. tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena Nabi menyampaikan hadis itu dari Allah. Maka, dikatakan Rasulullah saw. mengatakan apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.

3. Seluruh isi Alquran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya mutlak. Adapun hadis-hadis qudsi kebanyakan adalah kabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Adakalanya hadis itu sahih, hasan, dan kadang-kadang daif.

4. Alquran dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah dan lafalnya dari Rasulullah saw. Hadis qudsi ialah wahyu dalam makna, tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadis, diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi dengan maknanya saja.

5. Membaca Alquran merupakan ibadah, karena itu ia dibaca dalam salat. "Maka, bacalah apa yang mudah bagimu dalam Alquran itu." (Al-Muzamil: 20).

Nilai ibadah membaca Alquran juga terdapat dalam hadis,

"Barang siapa membaca satu huruf dari Alquran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan, kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf." (HR Tirmizi dan Ibnu Mas'ud).

Adapun hadis qudsi tidak disuruh membacanya dalam salat. Allah memberikan pahala membaca hadis qudsi secara umum saja. Maka, membaca hadis qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca Alquran bahwa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan.

Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi

Hadis nabawi itu ada dua. Pertama, tauqifi. Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah saw. dari wahyu. Lalu, ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw., sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.

Kedua, taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah saw. menurut pemahamannya terhadap Alquran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Alquran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika ia benar. Dan, bila terdapat kesalahan di dalamnya, turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.

Dari sini, jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi atau yang taufiqi dengan ijtiihad yang diakui dari wahyu itu bersumber dari wahyu. Inilah makna dari firman Allah tentang Rasul-Nya, "Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya." (An-Najm: 3--4).

Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah saw. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah Taala adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab, seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dan Alquran, dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun akan dianggap ibadah.

Mengenai hal ini timbul dua macam syubhat.

Pertama, bahwa hadis nabawi juga wahyu secara maknawi yang lafalnya dari Rasulullah saw., tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadis qudsi. Jawabnya adalah, kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nas syara yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah saw. Allah Taala telah berfirman, atau Allah Taala berfirman. Itu sebabnya kita namakan hadis itu hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis nabawi, karena hadis nabawi tidak memuat nas seperti ini. Di samping itu, masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan kepada Nabi melalui wahyu, yakni secara tauqifi, namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad, yaitu secara taufiqi. Oleh sebab itu, kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namai pula hadis qudsi.

Kedua, apabila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah saw., maka dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi: Allah Taala telah berfirman atau Allah Taala berfirman. Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya, bukan berdasarkan lafalnya. Misalkan ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakana bahwa penyair berkata demikian. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan si Fulan berkata demikian. Begitu juga Alquran menceritakan tentang Musa, Firaun, dan sebagainya, isi kata-kata mereka dengan lafal yang bukan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan gaya bahasa mereka, tetapi dinisbahkan kepada mereka.

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firmannya): 'Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Firaun. Mengapa mereka tidak bertakwa? Berkata Musa: 'Ya Tuahnku, aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan, (karena itu) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku, maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan, aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.' Allah berfirman, 'Jangan takut (mereka tidak akan bisa membunuhmu), maka pergilah kami berdua dengan membawa ayat-ayat kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakana), maka datanglah kamu berdua kepada Firaun dan katakanlah olehmu, 'Sesungguhnya kami adalah rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.' Firaun menjawab, 'Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan, kamu telah berbuat sesuatu perbuatan yang kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna.' Berkata Musa, 'Aku telah melakukannya sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu, aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.' Firaun bertanya, 'Siapa Tuhan semesta alam itu?' Musa menjawab, 'Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayainya'." (As-Syuara: 10--24).

Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Quraan, Manna' Khaliil al-Qattaan
Selengkapnya...

@ALQUDS Community